Bandung – Guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), I Gede Wenten, mengkritik langsung kebijakan riset di hadapan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir. Forum Guru Besar ITB mengundang Nasir pada kegiatan bulanan rapat pleno, Kamis, 22 Februari 2018, di Balai Pertemuan Ilmiah ITB, Bandung.
Menurut Wenten, Indonesia telah lama mengalami krisis ilmu pengetahuan dan teknologi. Sumber daya manusianya besar tapi hasilnya berkualitas jelek. “Hal itu diperparah oleh pencitraan dalam komunitas intelektual,” kata pengajar dan peneliti di Fakultas Teknologi Industri ITB itu.
Wenten juga menilai riset berjalan tanpa arah dan kualitasnya rendah. “Kita sering mengulang-ulang penelitian. Ini pengalaman kami sebagai peneliti. Selain itu, terjadi tumpang-tindih antarlembaga, bahkan laboratorium, sehingga tidak ada kemajuan berarti,” ucapnya. Agar sukses dalam pertempuran ke depan, ujar Wenten, harus berfokus pada kualitas dengan kekuatan di budaya intelektual.
Sebagai akademikus dengan sedikit pengalaman industri dan pengelolaan paten, Wenten menilai kebijakan riset perlu punya gambaran yang jelas dan tajam. “Kebijakannya terkesan berulang-ulang dari periode ke periode. Terkadang tidak nyambung dan membuat bingung,” tuturnya.
Di hadapan para guru besar ITB, Nasir menyampaikan tentang kebijakan dan masalah riset nasional. Menurut dia, Indonesia dengan jumlah penduduk 262 juta memiliki 4.579 perguruan tinggi. Angkanya lebih banyak daripada Cina yang berpenduduk 1,4 miliar orang lebih dengan 2.824 universitas. “Jumlah perguruan tinggi ternyata tidak berkorelasi positif dengan kemajuan teknologi yang dibangun,” katanya.
Fakta lain, kampus di Cina lebih banyak yang masuk 100 besar dalam daftar 500 universitas teratas di dunia. “Indonesia yang masuk daftar ada tiga, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Itu pun tidak termasuk 100 besar,” ucap Nasir. Dia merinci, UI menempati peringkat ke-277, ITB ke-331, dan UGM ke-401.
Sedangkan berdasarkan penelisikan Nasir, kurangnya pendidikan tinggi dan pelatihan tenaga kerja Indonesia membuat daya saing rendah. Pun hasil riset. “Semua riset di Indonesia masih lemah,” ujarnya.
Dari kalangan industri, ada keluhan lain. Banyak inovasi yang dilakukan perguruan tinggi bobot nilainya jadi berkurang hingga separuh setelah masuk industri. Perbedaan itu akibat pengukuran yang tidak selaras dengan di laboratorium. “Revitalisasi laboratorium perlu untuk lebih dekat dengan ukuran industri. Jangan sampai laboratorium 10, 15, 20 tahun yang lalu ini, saya mohon maaf, harus laboratoriumnya kekinian,” tutur Nasir. (TEMPO.CO)