Para peneliti di Indonesia yang berharap mendapatkan dana penelitian ratusan juta rupiah sekarang menghadapi situasi tidak menentu karena Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) yang dibentuk pemerintah kesulitan mendapatkan pendanaan.
Demikian laporan yang muncul di jurnal internasional terkenal dunia Nature hari Selasa (20/2/2018) dalam laporan yang ditulis oleh Dyna Rochmaningsih.
Pada awalnya banyak ilmuwan di Indonesia menyambut baik ketika Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia diluncurkan bulan Maret 2016, dengan tujuan untuk meningkatkan investasi di bidang penelitan dan meningkatkan kualitas penelitian di Indonesia.
Di bulan Mei, lembaga tersebut membuka pendaftaran bagi usulan penelitian dengan nilai maksimal Rp 15 miliar selama setahun untuk jangka tiga tahun.
Sejauh ini sudah ada 467 usulan penelitian yang masuk antara lain untuk penelitian di bidang seperti keesehatan dan gizi.
Namun 18 bulan kemudian di tahun 2018, DIPI yang dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengataakn mereka sudah melakukan seleksi terhadap penelitian yang akan dbiayai, namun tidak memiliki dana untuk diberikan kepada mereka yang mengajukan.
“Penundaan dana dari DIPI ini sangat mengecewakan.” kata seorang peneliti di Jakarta yang mendapatkan pemberitahuan di bulan Februari 2017 bahwa penelitiannya diterima namun dia harus memperbaiki usulan dana anggaran penelitian.
Peneliti yang tidak mau disebutkan namanya tersebut karena khawatir akan berpengaruh terhadap pendanaan mengatakan sejak itu dia belum lagi mendengar kabar apapun dari DIPI.
“Saya sekarang mencoba mencari pendanaan penelitian internasional. Namun sepanjang kami tidak mendapat penolakan dari DIPI, rasanya kurang etis bagi kami untuk mengirim usulan penelitian ke badan pendanaan lain.” katanya kepada Nature.
“Dalam situasi ini, para peneliti yang menjadi korban.”
Meski DIPI juga mencari dana dari berbagai sumber lain termasuk dana asing dan dana perseorangan, pemerintah Indonesia sudah mengganggarkan dana $US 3 juta (sekitar Rp 35 miliar) bagi lembaga tersebut untuk tahun pertama, yang diberikan lewat Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang berada di bawah nuangan Kementerian Keuangan.
LPDP juga sudah menandatangani kesepakatan dengan DIPI untuk memberikan dana bagi lembaga tersebut selama lima tahun.
Kepada Nature, Direktur Eksekutif DIPI Teguh Rahardjo mengatakan meski DIPI sudah mendapatkan sebagian dari dana tersebut dari LPDP, namun sekarang ini tidak cukup untuk membiayai semua usulan penelitian.
Menurutnya, masalah anggaran yang dihadapi pemerintah Indonesia saat ini sudah berpengaruh terhadap pengaliran dana ke DIPI.
Rahardjo mengatakan kajian yang dilakukan sudah menentukan adanya 10 usulan penelitian ‘yang pantas untuk didanai’, dan DIPI sekarang mencoba mencari sumber pendanaan dari pihak lain.
“Pembiayaan penelitian bagi ilmu-ilmu sains dasar adalah tanggung jawab pemerintah. Saya akan memfokuskan diri untuk mencari dana dari kementerian keuangan dan riset.’ katanya.
Rahardjo mengatakan bahwa DIPI sudah memberikan dana Rp 12 miliar tahun ini bagi penelitian yang dilakukan sebagai bagian dari kerjasama antara universitas di Indonesia dan di Inggris.
Program ini juga didukung oleh Newton Fund, sebuah badan pengembangan penelitian dari Inggris.
Sumber pendanaan terbatas
Para peneliti di Indonesia biasanya menggantungkan diri dari dana penelitian tahunan yang dianggarkan lewat APBN, dimana Indonesia hanya mengganggarkan 0,08 persen dari Produk Domestik Bruto (GDP) untuk dana penelitian.
(Negara-negara maju menghabiskan lebih dari 1 persen dari GDP untuk penelitian setiap tahunnya.
Selain kecilnya anggaran dana penelitian, jurnal Nature menulis bahwa beberapa peneliti mengatakan bahwa proses pemberian dana yang dilakukan beberapa kementerian termasuk Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, kepada universitas atau badan penelitian, tidak bersifat terbuka dan transparan.
Syarif Hidayat dari Kementerian Keuangan membantah bahwa proses pengalokasian dana anggaran tidak terbuka, dan mengatakan kementeriannya mencoba mencari cara agar dana penelitian bisa diberikan selama beberapa tahun.
DIPI didirikan untuk mengatasi masalah ini dan mendukung penelitian jangka panjang.
Lembaga tersebut mencontoh apa yang terjadi di tempat lain seperti di Amerika Serikat yang memiliki Yayasan Sains Nasional, dengan prinsip bahwa penelitian yang layak adalah penelitian yang sudah dikaji oleh neliti lainnya yang disebut sistem independent peer review.
“Sayang sekali DIPI menunda pemberian dana.” kata ilmuwan biologi molekul Riza Putranto dari Institut Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri di Bogor.
“Kita tidak bisa menggantukan diri dari APBN saja, guna melakukan penelitian berkualitas tinggi di Indonesia.”kata Putranto yang mendapat pemberitahuan di bulan Maret 2017 bahwa usulan penelitiannya ke DIPI ditolak.
“Kami memilih DIP karena adanya dana penelitian beberapa tahun sekaligus, sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa.” katanya.
Jurnal Nature mencoba menghubungi LPDP untuk wawancara mengenai masalah dana penelitian di APBN, dan juga persetujuan LPDP untuk membiayai DIPI selama lima tahun, namun tidak mendapatkan jawaban. (IFR/Tempo.co)