JAKARTA – Aktifnya transaksi belanja secara daring (online) memengaruhi tingkat hunian pusat-pusat belanja di Jakarta.
Pusat perdagangan Glodok nan legendaris itu, tak dapat mengelak kemajuan teknologi digital di sektor ritel. Secara bertahap, ratusan toko tutup dan pemiliknya mengonversi menjadi gudang.
Sementara, Pasaraya Blok M dan Mal Taman Anggrek ditinggal peritel utamanya Matahari Department Store, dan Debenhams hengkang dari Kemang Village.
Fenomena tutupnya gerai-gerai peritel utama atau anchor tenant dan peritel medioker di pusat-pusat belanja Jakarta berimplikasi pada merosotnya tingkat hunian.
Menurut riset Jones Lang LaSalle, tingkat hunian pusat belanja Jakarta hingga akhir 2017 sekitar 89 persen. Angka ini lebih buruk ketimbang catatan 2012 hingga 2016 yang selalu di atas 90 persen.
Dengan demikian, jika tingkat hunian 89 persen dari total ruang eksisting 2,9 juta meter persegi, maka tingkat kekosongan mal di Jakarta sekitar 31,9 hektar!
Sementara tingkat serapan sepanjang kurtal IV-2017, JLL menyebut hanya 2.600 meter persegi. Padahal, hingga akhir 2019 akan terdapat tambahan ruang pusat belanja seluas 106.000 meter persegi.
Tentu saja, menurunnya tingkat hunian ini juga menimbulkan efek domino yakni tarif sewa yang sedikit tertekan.
JLL mencatat tak ada kenaikan sama sekali dari segmen tarif sewa secara triwulanan. Tarif sewa berada pada level rata-rata Rp 494.171 per meter persegi per bulan.
Kendati fenomena aktual terus menunjukkan “kekalahan” ritel fisik, Head of retail JLL Cecilia Santoso mengatakan, khusus untuk pusat belanja premium lebih antisipatif.
Dia menambahkan, adanya diskusi mengenai belanja daring yang memengaruhi penjualan toko fisik secara bertahap sudah diantisipasi oleh para pengembang pusat perbelanjaan premium.
“Mereka membuat komposisi peritel yang lebih menarik dan mampu menarik masyarakat untuk mengunjungi pusat perbelanjaan,” kata Cecilia. (KOMPAS.com)