JAKARTA – Dana riset dan penelitian Indonesia dinilai paling kecil di Asean. Karena itu, iptek dinilai belum menjadi prioritas nasional. Hal ini ditunjukkan dengan minimnya anggaran yang disedikan, yakni hanya 0,08% dari PDB. Tentu sangat kecil dibandingkan China yang mencapai 1,5% dan Korea 3,4% dari PDB.
“Kecilnya biaya riset ini, tidak memiliki daya dorong untuk menghasilkan iptek mendukung Innovation Driven Economy (IDE),” kata Wakil Ketua Komisi VII Satya Wira Yudha dalam diskusi ‘Hilirisasi Inovasi Hasil Riset Untuk Industri & Jasa’ di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/2).
Menurut anggota Komisi VII DPR, dana riset Indonesia masih bertumpu 80% dari APBN. Padahal keterlibatan swasta merupakan syarat mutlak IDE. Berbeda dengan Korea dimana 80% didanai dan dilaksanakan oleh swasta, terutama industri. “Belanja penelitian Indonesia hanya 0,25% dari GDP pada 2016. Meski kelihatan naik, tapi sebarnya malah turun anggarannya,” ujarnya.
Semestinya, lanjut Satya, yang ideal itu swasta harus lebih banyak terlibat dalam riset. Dari 0,25% dana riset yang berasal dari APBN itu, ternyata hanya mengambil porsi kecil. “Ada dua swasta yang terlibat, yakni swasta profit dan non profit. Bagi swasta profit, keterlibatannya mencapai 9,15% dan swasata non profit hanya 4,33%,” imbuhnya.
Lebih jauh kata Satya, anggaran riset Indonesia pada 2017, hanya mencapai Rp24 triliun, dana itu campuran antara APBN dan berasal dari swasta. Justru berbanding terbalik dengan Malaysia, 52% dana swasta justru lebih masuk ketimbang dana negara.
Disisi lain, kata Satya, kegiatan riset oleh lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi belum terorganisir dengan baik, terlalu banyak lembaga/unit yang melakukan riset. Malah terlalu banyak paket pembiayaan riset, dibarengi dengan tidak tersedianya database riset, sehingga potensi duplikasi dan inefisiensi sangat besar. (BALIPOST.com)