News

Ingin Melakukan Penelitian? Sekarang Harus Punya SKP Dulu

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP) resmi diundangkan pada 17 Januari 2018. SKP wajib dimiliki bagi siapa pun yang berniat melaksanakan riset di seluruh wilayah Indonesia. Namun, dikecualikan untuk penelitian yang dilakukan dalam rangka tugas akhir pendidikan dan penelitian yang dilakukan instansi pemerintah yang sumber pendanaan penelitiannya berasal dari APBN dan atau APBD.

Aturan ini tidak mengikat bagi warga negara asing. Dalam Pasal 1 ayat (5) Permendagri No 3, dijelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan peneliti dalam aturan ini adalah perseorangan atau kelompok Warga Negara Indonesia yang tergabung dalam lembaga pendidikan, badan usaha, atau ormas yang melakukan penelitian. Izin riset bagi orang asing diatur dalam ketentuan lain yang sifatnya lintas kementerian, dari mulai Ristekdikti hingga kementerian luar negeri.

Peraturan ini menggantikan aturan yang telah ada sebelumnya, yaitu Permendagri Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 64 Tahun 2011 tentang Pedoman Penerbitan Rekomendasi Penelitian. Aturan ini ditandatangani oleh Gamawan Fauzi, ketika masih jadi menteri dalam negeri.

“Hanya update saja,” kata Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri, ketika ditanya Tirto apa yang melatari terbitnya aturan ini, Selasa (6/2).

Aturan ini ramai dibicarakan di media sosial sejak malam (5/2) kemarin, termasuk oleh Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta. Ia mempertanyakan alasan penerbitan aturan ini. Sementara Veronica Koman, pengacara HAM dan aktivis Papua itu berkicau bahwa dengan aturan baru ini “penelitian saja dikekang.”

Apa saja poin dalam Permendagri ini? Apakah mengekang?

Seperti pada umumnya sebuah peraturan, Permendagri ini menjabarkan beberapa istilah-istilah yang muncul dalam keseluruhan pasal. Dilanjutkan dengan tujuan di Pasal 2. Di sana dijelaskan bahwa tujuan diterbitkan SKP adalah dalam rangka tertib administrasi, juga “dalam rangka kewaspadaan terhadap dampak negatif yang diperkirakan akan timbul dari proses penelitian.” Tidak ada penjelasan apa pun apa yang dimaksud dengan “dampak negatif”.

Hanya disebutkan dalam Pasal 11, bahwa kajian apakah riset tersebut “berdampak negatif” atau tidak berada di tangan Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum, atau Badan Kesatuan Bangsa dan Politik. Dijelaskan di Pasal yang sama, jika riset dirasa “menimbulkan dampak negatif”, penilai akan memberikan rekomendasi penolakan penerbitan SKP.

Sekali lagi, tidak ada keterangan lebih lanjut apa yang dimaksud soal “dampak negatif”, kata yang dalam aturan ini keluar sebanyak enam kali. Tidak ada keterangan apa pun apakah peneliti bisa melakukan banding atas putusan atau tidak jika seandainya pengajuan SKP-nya ditolak.

Selain menimbulkan dampak negatif. SKP bisa tidak jadi diterbitkan karena peneliti tidak mematuhi norma atau adat istiadat, serta kegiatannya “meresahkan masyarakat, disintegrasi bangsa atau keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” (Pasal 15) tanpa ada penjelasan apa pun setelahnya.

Padahal, penolakan yang sifatnya lebih substantif seperti ini tidak terlihat dalam aturan yang lama. Dalam aturan sebelumnya yaitu Permendagri Nomor 7 Tahun 2014, penolakan pengajuan rekomendasi penelitian lebih bersifat administratif, misalnya tidak lengkap dalam persyaratan, dan tidak mengisi proposal penelitian dengan lengkap.
Tahapan Pengajuan

Dalam Pasal 6 Permendagri baru ini, dijelaskan bahwa penerbitan SKP tergantung pada ruang lingkup penelitian. Jika penelitian mencakup nasional, atau lebih dari dua provinsi, maka izin berada di tangan Mendagri melalui Unit Layanan Administrasi. Jika ruang lingkup riset adalah provinsi, maka yang berwenang menerbitkan SKP adalah gubernur melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) provinsi.

Terakhir, jika ruang lingkup riset adalah kabupaten/kota, maka izin berada di Bupati/Wali Kota, lagi-lagi melalui Dinas PTSP.

Ada tiga tahap yang mesti dilalui peneliti, baik sebagai individu atau kelompok, sebelum dapat memegang SKP. Pertama, mengajukan permohonan tertulis sesuai ruang lingkup penelitian. Kedua, verifikasi dokumen, dan terakhir keputusan apakah SKP keluar atau tidak.

Dalam proses pengajuan permohonan tertulis, peneliti perseorangan harus berurusan dengan lurah/kepala desa tempat ia berdomisili. Sebab permohonan ini harus diketahui oleh pimpinan tempatnya bermukim (Pasal 8 ayat 2).

Selain surat permohonan tertulis, pengajuan juga harus disertai dokumen proposal penelitian, surat pernyataan untuk taat dan tidak melanggar aturan, dan identitas peneliti. Setelah semua dokumen rampung dan semua ketentuan terpenuhi, maka otoritas terkait wajib menerbitkan SKP paling lama lima hari kerja (Pasal 12).

SKP berlaku selama satu tahun, dan dapat diperpanjang kemudian. (IFR/Tirto.id)

Join The Discussion