JAKARTA — Potensi ilmuwan dan akademisi Indonesia sebenarnya cukup menjanjikan. Hal itu tidak hanya terlihat dari kiprah ilmuwan diaspora Indonesia di sejumlah negara, tetapi juga dari kiprahnya dalam jejaring riset internasional.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati, di Jakarta, Kamis (25/1), mengatakan, peluang untuk menghasilkan ilmuwan dan peneliti yang andal serta membangun budaya riset unggul sebenarnya bisa diraih.
”Asal kita memadai dalam menyediakan perangkat riset. Termasuk juga membenahi ketidakefektifan dalam mengelola anggaran riset di perguruan tinggi dan litbang di bawah Kemristek dan Dikti serta di kementerian atau lembaga lain,” katanya.
Menurut Dimyati, meski cukup menjanjikan, kondisi produktivitas riset dan inovasi Indonesia masih rendah. Indikatornya, di kawasan ASEAN, Indonesia hanya unggul dari Thailand dalam menghasilkan jumlah publikasi internasional. Itu pun butuh waktu sampai 20 tahun.
Pada awal 2017, dosen dengan jabatan akademik lektor kepala dan guru besar mulai terus ditagih untuk membuat publikasi internasional. Ada ancaman pencabutan tunjangan dosen dan tunjangan kehormatan profesor. Cara ini mampu mendorong pendataan publikasi internasional dan Indonesia membangun indeks nasional Science and Technology Index (Sinta).
Dimyati mengatakan, Kemristek dan Dikti berupaya serius mengevaluasi berbagai hal untuk membangun ekosistem riset.
”Riset masih dilakukan tumpang tindih yang membuat anggaran terhambur tidak efektif. Sudah anggaran riset terbatas, ternyata penggunaannya pun tidak efektif dan tidak tepat,” kata Dimyati.
Tahun 2017, alokasi anggaran riset nasional Rp 10,9 triliun. Dari total itu, yang dikelola Kemristek dan Dikti hanya Rp 2,4 triliun. Namun, dengan mengoptimalkannya hingga 80 persen, publikasi berhasil terdongkrak.
Menurut Dimyati, semua pemangku kepentingan harus mengejar terus agar publikasi meningkat. Demikian pula dalam menghasilkan prototipe (purwarupa), hak kekayaan intelektual. Jangan lagi tumpang tindih,” katanya.
Penguatan riset
Secara terpisah, Wakil Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Bidang Riset, Inovasi, dan Kemitraan Bambang Riyanto Trilaksono mengatakan, penguatan riset di perguruan tinggi yang paling mendasar dari sisi sumber daya manusia. Sebab, dosen dan mahasiswa merupakan aktor utama dari riset untuk menghasilkan inovasi.
Di ITB ada sekitar 100 kelompok keahlian untuk melakukan riset. Selain dana dari pemerintah, mitra, industri, dan kampus juga mendukung pendanaan riset kelompok keilmuan. Dari hasil riset yang siap, dicarikan mitra untuk diproduksi industri.
”Di ITB juga ada 77 usaha rintisan (start up) dari mahasiswa dan alumni yang berkoordinasi dengan dosen pembimbing. Hasilnya cukup menjanjikan,” kata Bambang.
Selain SDM, fasilitas riset tentunya harus tersedia memadai. Demikian juga anggaran riset serta jejaring dengan industri ataupun mitra di dalam dan luar negeri.
”ITB punya keunggulan dalam riset energi baru dan terbarukan. Demikian pula dalam teknologi informasi dan komunikasi, seperti smartphone, small GPS, radar cuaca, katalis, dan beragam produk lainnya,” katanya. (KOMPAS)