MEDAN – Pemerintah segera mengevaluasi aturan pajak penghasilan (PPh) bagi kalangan swasta dalam rangka meningkatkan pendanaan riset di Tanah Air. Besaran anggaran riset Rp1,3 trilun pada tahun ini sebagaimana yang masuk pada pos Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) tersebut dinilai belum cukup.
Anggaran riset Indonesia pun tergolong kecil karena hanya sekitar 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pada 2017, anggaran penelitian di Malaysia sudah mencapai 1,25% dari PDB. Kemudian, China 2,0%, Singapura 2,20%, Jepang 3,60%, Korea Selatan 4,0%, Jerman 2,90%, Swedia 3,20%, dan Amerika Serikat 2,75%.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bertekad anggaran riset terus ditingkatkan agar hasil penelitian juga lebih berkualitas. Namun selama ini anggaran dari pemerintah sangat terbatas. Untuk itu pelibatan kalangan swasta seperti dari sektor industri sangat dibutuhkan. Pihak swasta cukup berkepentingan karena riset akan banyak memberikan kemanfaatan pada usaha-usaha mereka.
Selama ini sebenarnya pemerintah sudah memberi kebijakan khusus seperti memberikan insentif bagi kalangan swasta yang ikut dalam pendanaan riset.
“Mereka (swasta) melakukan riset bisa dibiayakan sehingga mengurangi pajak yang harus mereka bayarkan. Ini sudah ada dalam UU PPh sebelumnya,” kata ujar Sri Mulyani usai menjadi pembicara utama pada Rakernas 2018 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, kemarin.
Melihat dana riset yang belum ideal saat ini, pihaknya akan mengevaluasi kebijakan ini. Jika diketahui anggaran masih tidak cukup, menurut dia, berarti perlu melakukan evaluasi lebih lanjut bagaimana agar partisipasi swasta ditingkatkan terutama dalam riset-riset yang banyak mengembangkan suatu produk. “Itu yang perlu kita lakukan pada saat kita perlu melakukan review UU PPh. Namun kalau peraturannya di bawah UU, kita juga bisa melakukannya,” ujarnya.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menilai riset memang bisa dibiayakan sehingga mengurangi pajak dengan model double tax deduction. “Menkeu sudah minta data perusahaan mana yang minta double tax deduction?, dia mau evaluasi lagi,” katanya.
Hingga saat ini porsi pendanaan riset sebanyak 84% masih didominasi oleh dana pemerintah. Adapun sisanya yang merupakan pendanaan pihak swasta. Porsi penganggaran ini terbalik dengan dana-dana riset kebanyakan di negara lain yang lebih banyak berasal dari sektor swasta.
Nasir mengatakan, total anggaran riset untuk seluruh kementerian dan lembaga di APBN sekitar Rp24,9 triliun namun yang khusus untuk riset hanya Rp10,9 triliun. Sisanya untuk pelatiham, perjalanan dinas dan yang lain yang tidak terkait riset.
Karena itu, pihaknya menilai diperlukan pemanfaatan secara maksimal terhadap anggaran penelitian yang dialokasikan pemerintah. Salah satu kebijakannya adalah penganggaran kini yang bukan lagi berbasis aktivitas, tetapi berbasis output atau hasil penelitian (jurnal ilmiah).
Nasir menyebut, riset dan pengembangan perlu dilakukan untuk mendukung jalannya transformasi sistem perguruan tinggi (PT) yang menyesuaikan dengan Revolusi Industri 4.0. Maka dukungan dari Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) di bawah koordinasi Kemenristekdikti serta Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sangat diperlukan. “Kita juga butuh perekayasa inovatif dan adaptif untuk pengembangan ilmu pengetahuan teknologi dan PT dalam era revolusi industri 4.0 ini,” ujarnya.
Pada Revolusi Industri 4.0, segala hal menjadi tanpa batas (borderless) dengan penggunaan daya komputasi dan data yang tidak terbatas (unlimited). Ini terjadi karena ada pengaruh dari perkembangan internet dan teknologi digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin. Era ini juga akan mendisrupsi berbagai aktivitas manusia, termasuk di dalamnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta PT. Tantangan revolusi Industri 4.0 ini harus direspons secara cepat dan tepat oleh seluruh pemangku kepentingan di lingkungan kementerian.
Pengamat Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid Hasan berpendapat, dana penelitian yang sudah naik dari Rp1,03 triliun menjadi Rp1,3 triliun masih tergolong sangat kecil. Karena jumlahnya kecil, dampak dari riset pun juga akan kecil. Oleh sebab itu, perguruan tinggi perlu mendapat dana penelitian dari berbagai pihak, terutama dari kalangan industri. Menurut dia, dana penelitian dari pemerintah tidak akan pernah cukup apalagi anggaran itu dibagi lagi untuk perguruan tinggi dan lembaga pemerintah serta nonpemerintah.
Mantan Ketua Tim Pengembang Kurikulum 2013 ini berharap, dunia industri perlu segera turun karena sektor ini juga memerlukan terobosan baru atau temuan yang mampu meningkatkan penjualan dan keuntungan bisnisnya. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah mencontoh negara lain agar industri bisa berperan serta dalam pendanaan riset dan penelitian. “Di banyak negara kerjasama perguruan tinggi dan industri telah meningkatkan dana penelitian secara signifikan,” katanya.
Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman juga berpendapat, dana penelitian di BOPTN tentu belum cukup bila diukur dari target penelitian Rencana Induk Penelitian Nasional yang ditetapkan Kemenristekdikti. Namun besaran dana itu pun tidak bisa dibandingkan dengan negara lain yang sudah memberi porsi cukup banyk pada riset dan penelitian seperti di Singapura dan Jepang. Profesor sosiolinguistik ini berharap penelitian harus mempertimbangkan aspek bagi masyarakat, termasuk dalam hilirisasi ke dunia industri.
Pengamat pendidikan tinggi dari Universitas Paramadina Totok Amin berpandangan, yang terpenting dari sebuah riset adalah bukan dari mata anggarannya saja melainkan apakah mutu penelitian di Indonesia sudah baik. Hal ini harus dilihat dari kebermanfaatannya bagi masyarakat, inovatif dan bisa menambah keunggulan bagi bangsa. (IFR/Sindonews.com