News

90 Persen Kepala Desa di Papua Tidak Bisa Baca Tulis

 

JAKARTA – 90 persen Kepala Desa di Wilayah Timur Indonesia Tidak Bisa Baca Tulis, hal itu disampaikan oleh salah satu peserta Penajaman Program 2016 dan Perumusan Program 2017 Pusat Penelitian dan Pengembangan Administrasi Kewilayahan, Pemerintah Desa dan Kependudukan BPP Kemendagri, Kamis (3/3), di Aula BPP.

“90 persen Kepala Desa dan perangkat desa tidak bisa membaca dan menulis, Itu yang kami hadapi ketika melakukan pelatihan para Kepala Desa yang di timur Indonesia, seperti wilayah Papua dan Papua Barat,” ujar Eka Wuri P dari Direktorat Fasilitasi Pengembangan Kapasitas Aparatur Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri.

Menurut Eka, saat ini pihaknya tengah mengalami kegalauan, dan berharap ada sebuah strategi yang sekiranya bisa diterapkan ketika melaksanakan pelatihan di sana. Pelatihan yang tidak hanya bisa merubah maindset para perangkat desa, tetapi juga memiliki semangat yang sama untuk membangun desa.

Eva berharap ada kajian spesifik atau berupa diskusi mengenai hal tersebut yang dilakukan oleh BPP. Menurutnya, hal tersebut merupakan program dan kegiatan yang menjadi tanggung jawab Ditjen Bina Pemdes saat ini, pelatihan juga tidak hanya sekadar motivasi tetapi mengenai beberapa hal terkait pengelolaan aset dan perencanaan pembangunan desa. Ia menyayangkan kalau program tersebut hanya bersifat seremonial atau sekadar program kegiatan yang dijalankan, karena program tersebut memakan waktu dan dana yang tidak sedikit. Eva juga menceritakan beberapa permasalahan ketika melakukan pelatihan tersebut.

“Apa yang mereka pikirkan dan mereka tulis sangat berbeda, tulisannya saja kita tidak mengerti memnggunakan bahasa mereka, selain itu, tidak jarang para perangkat desa yang membawa tombak dan berselisih antar Kepala Desa karena perbedaan suku, sampai orang yang melatih disekap selama beberapa hari, karena mungkin ada kesalahan ucap atau sikap yang menyinggung mereka,” ujar Eva.

Terkait hal itu, Nadeak peneliti BPP Kemendagri mengatakan, perlu ada metode khusus. Berdasarkan pengalamanya selama dua tahun tinggal di Raja Ampat, Nadeak melihat sebetulnya ada kesamaan budaya antar suku di wilayah timur.

“Kalau dilihat dari sisi ras dan warna kulit, ada kesamaan budaya antara beberapa suku di Wilayah Indonesia Timur, tetapi jika dilihat secara spesifik mereka sangat individualis, contohnya dalam hal makanan, sagu yang mereka panen bisa untuk satu keluarga selama satu bulan, dipanen sekeluarga tanpa melibatkan orang lain, dan masih banyak hal lain, mungkin itu yang melahirkan sisi egois. Itu perlu metode khusus yang akan segera dikaji,” ujar Nadeak. (MSR)

 

Join The Discussion