News

47 Ilmuwan Diaspora Kerja Sama Riset dengan Ilmuwan Indonesia

JAKARTA – Sebanyak 47 ilmuwan diaspora akan menjalani riset bersama dengan para ilmuwan dari 55 perguruan tinggi negeri dan swasta Indonesia. Diaspora yang masuk dalam program simposium cendekia kelas dunia (SCKD) itu merupakan ilmuwan Indonesia yang berkarier di 11 negara. Yakni Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Australia, Inggris, Swedia, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada.

Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti mengatakan, SCKD bukan sekadar upaya mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjalin relasi di antara sesama ilmuwan. Para diaspora tersebut akan mendatangi kampus tujuan untuk menginventarisasi masalah dan merencanakan fokus riset bersama dengan ilmuwan dalam negeri.

“Hal ini menjadi bukti bahwa ilmu pengetahuan itu justru merekatkan, bukan malah menyekatkan. Program bersama ilmuwan diaspora ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk pengembangan SDM Indonesia dengan melibatkan seluruh komponen anak bangsa di mana pun mereka berada,” ujar Ghufron, dalam pembukaan SCKD, di Ballroom Hotel Kuningan, Jakarta, Senin 13 Agustus 2018.

Para ilmuwan diaspora itu akan tinggal di Indonesia hingga 18 Agustus 2018. Dalam kurun waktu sepekan, mereka diwajibkan untuk berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman, menjalin relasi, serta berkolaborasi menghasilkan riset dan publikasi jurnal bersama ilmuwan dalam negeri. Ilmuwan yang tertarik melakukan penelitian di luar negeri juga akan difasilitasi para diaspora.

Ghufron menjelaskan, para ilmuwan diaspora yang hadir telah diseleksi secara ketat dengan melibatkan peran Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4). Sejak dibuka pendaftarannya pada Juni, tercatat ada 120 ilmuwan diaspora mendaftar program ini. Kendati demikian, karena keterbatasan dana dan fokus penelitan, diaspora yang diundang mengerucut menjadi 48 orang.

“Satu orang berhalangan hadir. Mereka ini datang ke Indonesia tidak hanya untuk pulang kampung, berbincang dengan akademisi dan ilmuwan Indonesia mengenai pengembangan ilmu pengetahuan. Tetapi juga ikut berkontribusi menyusun rekomendasi kebijakan pembangunan SDM Indonesia,” kata Ghufron.

Ilmuwan diaspora yang terpilih program SCKD minimal memiliki jabatan akademik assistant professor di institusinya. Tercatat, ada 7 orang assistant professor, 14 orang associate professor, 10 orang profesor, dan sisanya merupakan senior lecturer yang telah menjadi academic leader, seperti dekan atau kepala pusat riset, serta ada pula yang menjadi peneliti profesional.

Dari latar belakang bidang keahlian cukup beragam. Di antaranya kedokteran, biologi molekular, energi, teknik kimia, teknik elektro, farmasi, tata kota, pangan, kemaritiman, dan termasuk bidang ilmu sosial.

Kali ketiga
Tahun ini merupakan kali ketiga SCKD digelar. Sebelumnya, program serupa telah dilaksanakan pada tahun 2016 dengan nama Visiting World Class Professor. Kemudian pada 2017 berubah menjadi SCKD hingga saat ini. Ilmuwan diaspora yang dihadirkan pun tidak selalu sama. “Dari 48 yang diundang, sebagian besar merupakan diaspora baru,” ujarnya.

Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan, SCKD merupakan satu dari sejumlah kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dengan bantuan para ilmuwan dunia, hasil riset diharapkan dapat relevan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri. Kuantitas dan kualitas riset harus berjalan seiringan.

“Saya yakin 2019 jumlah riset Indonesia jadi yang terunggul di Asia Tenggara. Karena kita punya potensi besar, ada 32 dosen yang menjabat lektor kepala, dan guru besar 5.500. Kalau ini meneliti semua, ada 37.000 (riset yang terpublikasi internasional). Per Agustus ini Malaysia masih peringkat pertama dengan total 17.211 riset. Indonesia duduk di posisi kedua dengan 16.528 riset. Singapura 12.593 dan Thailand sebanyak 9.595 riset,” kata Nasir. (IFR/PikiranRakyat.com)

Join The Discussion