JAKARTA – Simposium internasional kehidupan keagamaan (International Symposium on Religious Life) bertajuk Managing Diversity, Fostering Harmony resmi dibuka oleh Kementerian Agama, Rabu (5/10) di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta. Simposium yang diselenggarakan oleh Balitbang dan Diklat Kemenag RI ini menghadirkan 150 peserta yang merupakan peneliti tokoh agama dari dalam dan luar negeri, seperti Mesir, Hongkong, Singapura, Malayisa, Brunei, AS, Belanda, Jerman, dan negara lainnya.
Dalam sambutan yang dibacakan oleh Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjelaskan bahwa simposium internasional ini merupakan wahana penting bagi para akademisi, peneliti, dan tokoh agama untuk bertemu dan saling bertukar informasi mengenai hasil penelitian terbaru dan kemungkinan bekerja sama untuk melakukan penelitian terkait kehidupan keagamaan.
“Bagi Kemenag, simposium ini nantinya dapat memberikan rekomendasi kepada kami dalam melaksanakan visi negara untuk memperteguh kebhinnekaan Indonesia,” ujar Menag.
Menag menyadari betul ketika sebuah negara atau komunitas terisi orang-orang dengan tingkat keberagaman yang tinggi, maka paling sulit adalah menyamakan persepsi dan mencapai konsensus atas suatu nilai dan kepentingan tertentu.
“Negara menjamin kebebasan setiap warga untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Hanya, kebebasan itu tetap dibatasi dalam kerangka menjaga harmoni. Karenanya, hubungan antarumat beragama diatur dalam regulasi tersendiri,” terang Menag.
Sementara itu, Kepala Balitbang dan Diklat Abdurrahman Mas’ud mengungkapkan bahwa pertemuan internasional ini juga nantinya diarahkan pada pembentukan RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB) dengan mendefinisikan agama secara regulatif. Hal ini bertujuan untuk memperkuat persatuan dan menjaga kerukunan umat bergama di Indonesia.
“Para narasumber nantinya akan memberikan berbagai rekomendasi untuk penyempurnaan regulasi ini (RUU PUB, red) sehingga tergetnya akhir tahun sudah dibahas di DPR,” jelas Abdurrahman Mas’ud.
Ini merupakan langkah Kementerian Agama dalam menganggapi sering terjadinya konflik yang mengatasnamakan agama. Sehingga menurut Ma’sud, kriteria agama atau keyakinan seperti apa di luar 6 agama yang selama ini diakui negara yang perlu didefinisikan.
Karena terminologi agama yang tidak diakui berdampak diskriminatif terhadap hak-hak warga negara yang masih memegang teguh agama-agama lokal ketika hendak mengakses layanan yang disediakan oleh pemerintah, seperti pencatatan sipil dan masalah-masalah administratif lainnya.
Kegiatan Simposium internasional ini akan berlangsung 3 hari, Rabu-Jumat (5-7/10) di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta. Kegiatan ini menghadirkan berbagai pakar seperti Robert W. Hefner (Boston University, USA), Gamal Farouq Jibril (Al-Azhar University Cairo, Mesir), Azyumardi Azra (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Selain itu juga digelar diskusi yang akan diisi oleh Ahmad Najib Burhani (LIPI), Syafiq Hasyim (ICIP-PBNU), R. Alpha Amirrachman (CDCC-PP Muhammadiyah), Ahmad Suaedy (Abdurrahman Wahid Center UI), Muhammad Adlin Sila (CDRL-MORA), dan Alimatul Qibtiyah (PSW UIN Yogyakarta).