News

Peluang SINTA Menjadi Jembatan Riset dan Kebijakan Mencegah Kematian Sia-Sia

Bencana tsunami di Selat Sunda dan sebelumnya di Palu, Sulawesi Tengah menyodorkan fakta tentang minimnya pemanfaatan hasil riset dalam program mitigasi dan kesiapsiagaan bencana.

Lebih banyak nyawa bisa diselamatkan dari ancaman bencana bila pemerintah merujuk hasil riset kredibel untuk menyusun kebijakan (dan implementasi) yang berdampak pada keselamatan rakyat.

Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Ristekdikti) dapat memainkan peran penting di sini jika mereka dapat bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional untuk mengembangkan sistem indeks yang menyediakan peta bagi pembuat kebijakan untuk menemukan riset-riset yang relevan dengan prioritas program kerja mereka. Dan sebaliknya, peneliti juga dapat mengusulkan penelitian sesuai dengan prioritas kebijakan dan fokus riset nasional atau daerah.

Miskoordinasi dan pengabaian temuan riset

Presiden Joko Widodo menyatakan bencana tsunami di Selat Sunda tersebut di luar perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Peringatan dini yang dimiliki oleh BMKG menggunakan sensor tektonik, sedangkan tsunami Selat Sunda berkaitan dengan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.

Karena berkaitan dengan aktivitas gunung api, pemantauannya menjadi ranah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengelola sensor vulkanik. Sampai di sini, tema ceritanya klasik, mengenai koordinasi antar-lembaga yang tidak berjalan baik.

Namun, masalah yang fundamental dari kesiapsiagaan dan mitigasi bencana tsunami Selat Sunda sesungguhnya adalah hasil riset yang terabaikan.

Setelah kejadian tsunami, di berbagai grup WhatsApp beredar hasil riset tahun 2012 oleh Thomas Giachetti, peneliti Universitas Oregon, dan koleganya, termasuk peneliti Indonesia Budianto Ontowirjo dari Universitas Tanri Abeng, yang memperkirakan potensi tsunami akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau.

Berdasarkan simulasi mereka, tsunami akibat aktivitas vulkanik dapat menjangkau bibir pantai Banten dan Lampung dalam hitungan antara 36-68 menit. Karena itu, ketersediaan detektor vulkanik dan sistem peringatan dini yang efisien–bila ada dan berfungsi dengan baik–dapat menyelamatkan masyarakat di pinggir pantai terdampak.

Rasa penasaran terhadap keberadaan karya peneliti Indonesia mengenai potensi tsunami Selat Sunda mendorong kolega dari Institut Teknologi Bandung, Dasapta Erwin Irawan, untuk melakukan pencarian di portal Garuda (Garba Rujukan Digital, yang dikelola oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi). Ia menemukan publikasi karya Yudhicara dan Budiono yang dimuat di di Jurnal Geologi Indonesia pada 2008 dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Geologi Kementerian ESDM).

Riset mereka menyebutkan wilayah Selat Sunda rentan terhadap 4 jenis penyebab tsunami, yaitu gempa bumi, erupsi gunung api, longsoran pantai, dan longsoran bawah laut. Karena itu, sistem deteksi dini tsunami di wilayah tersebut seharusnya meliputi detektor beragam penyebab.

Bagaimana menjembatani riset dan kebijakan kebencanaan

Sebenarnya, terdapat peluang untuk menghubungkan riset dengan kebijakan secara sistematik di Indonesia. Presiden Jokowi pada 2018 telah mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017-2045, untuk meningkatkan sinergi antar pemangku kepentingan lintas sektoral dalam jangka panjang.

Ristekdikti sendiri pada 2017 telah meluncurkan sistem pengindeks yang disebut SINTA (Science and Technology Index). Melalui sinkronisasi dengan Google Scholar, basis data ilmiah komersial Scopus, dan portal Garuda jutaan publikasi yang ditulis oleh periset Indonesia terindeks di sini. Sampai Desember yang lalu, 150 ribuan peneliti dari sekitar 4500-an institusi riset dan akademik telah terindeks di SINTA.

Namun, sejauh ini Ristekdikti baru menjadikan SINTA sebagai alat pengukur kinerja riset, dengan menciptakan sistem pemeringkatan peneliti di SINTA, yang menimbulkan kritik dari para akademisi.

Daripada hanya menjadikan SINTA sebagai repositori sitiran dan kepakaran, Ristekdikti dapat menjadikannya sebagai jembatan antara dunia riset dan kebijakan dengan memperluas metadata yang disediakan dan menciptakan matriks yang menghubungkan metadata dalam SINTA dengan fokus-fokus prioritas riset nasional.

Kosakata Riset Indonesia

Saat ini metadata yang terindeks oleh SINTA adalah nama peneliti, afiliasi institusi, bidang keahlian, judul artikel, nama jurnal ilmiah dan sitiran. Sementara metadata kata kunci yang menyediakan informasi mengenai topik-topik yang dibahas setiap artikel ilmiah belum tersedia dalam SINTA. Demikian juga indeksasi produk kebijakan dan fokus riset di RIRN .

Menyertakan kata kunci dan menghubungkannya dengan matriks prioritas riset nasional akan membantu publik–termasuk pembuat kebijakan–untuk menelusuri jutaan publikasi dan menemukan riset yang relevan dengan kebutuhan mereka.

Kerja sama dengan Perpustakaan Nasional RI untuk mengembangkan standar kosakata, metadata, dan indeksasi publikasi (jenis publikasi, kata kunci, bidang ilmu, dan kelompok riset) akan memudahkan kegiatan pemetaan tersebut.

Pengembang dan pengelola SINTA bisa belajar dari praktik terbaik kosakata riset Medical Subject Heading (MeSH), yang merupakan bagian dari basis data Pubmed yang dikembangkan oleh National Library of Medicine (NLM). MeSH merupakan kosakata yang terstruktur secara hirarkis untuk indeks, katalog dan pencarian makalah kesehatan di Pubmed. Di perpustakaan kesehatan terbesar di dunia itu, petugas pengindeks bertugas membaca setiap artikel baru dari jurnal yang terindeks di Pubmed dan menentukan lema MeSH-nya.

Mengembangkan sejenis Kosakata Riset Indonesia merupakan kerja besar berskala nasional dan berpotensi global. Wirawan Agahari pernah menganalisis pentingnya data untuk mengevaluasi kebijakan dengan mengusulkan pembaharuan regulasi.

Pengembangan Kosakata Riset Indonesia dapat diselaraskan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) yang akan memuat Sistem Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional. Kolaborasi, bukan kompetisi, lintas lembaga diperlukan untuk mengembangkan inovasi ini (collaborative sandbox).
Inovasi teknologi untuk kebijakan publik

Kembali kepada kasus tsunami Selat Sunda. Dalam RIRN terdapat 10 fokus riset, dua diantaranya–kemaritiman dan kebencanaan–relevan dengan pencegahan dan mitigasi bencana di sekitar Selat Sunda. Riset kemaritiman memuat 4 tema riset, salah satunya adalah teknologi penguatan infrastruktur maritim, yang memiliki subtopik sistem peringatan dini tsunami.

Pengembangan matriks 10 fokus riset nasional dalam SINTA dapat dipetakan berdasarkan pelaku, sumber pendanaan, jenis riset (kolaboratif/tunggal), jenis publikasi yang memuat hasil riset sampai dengan jenis kebijakan pemerintah yang memanfaatkan hasil riset tersebut.

Di era multi disiplin seperti sekarang, riset kemaritiman dapat diintegrasikan dengan riset kebencanaan serta delapan fokus riset lainnya. Sebagai contoh, riset inovasi sistem peringatan dini dipadukan dengan riset yang mengkaji implikasinya dari aspek sosial ekonomi dan humaniora dalam satu kerangka penelitian payung.

Hasil riset semacam ini–jika terindeks dengan baik sehingga pembuat kebijakan mudah menemukan dan mengakses–dapat dimanfaatkan untuk mendukung program terpadu mitigasi dan kesiapsiagaan bencana yang sesuai konteks budaya masyarakat.

Dengan demikian, ada kesinambungan antara prioritas nasional, kebutuhan riset untuk pembangunan prioritas, riset yang dilakukan, produk riset yang dihasilkan sampai dengan pemanfaatannya. Tugas selanjutnya adalah memantau sejauh mana riset tersebut menjadi rujukan dalam program kebijakan, pedoman dan regulasi, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dalam hikayat Ramayana, dewi Shinta rela terjun ke bara api demi cintanya kepada Rama. Ini bisa menjadi alegori untuk pengorbanan waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk mereformasi SINTA menjadi jembatan riset-kebijakan yang berpotensi menyelamatkan puluhan juta nyawa yang hidup di negeri kepulauan rawan bencana. (theconversation.com)

Join The Discussion